Minggu, 13 Juni 2010

Tarikh

MAQASIDUS SYARI’AH

Makalah

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tarikh Tasyri’

Dosen Pembimbing : Mahsun, M.Ag.

34

Oleh :

NUNUNG HAFSOH

NUR KHARIROH

NURUL ROSYIDA

Program Studi Syariah Jurusan Muamalah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI

PURWOREJO

2010

PENDAHULUAN

Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Allah SWT. Syariat islam tidak akan basi sepanjang waktu dan tidak akan kusam sepanjang masa. Semua hukum baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan yang terdapat dalam syariat bukanlah tanpa makna, akan tetapi mempunyai maksud dan tujuan tertentu.

Para ulama mengistilahkan tujuan tersebut dengan istilah maqosid syariah, yang kita bahas pengertian, tingkatan dan urutan hukumnya dalam makalah ini.

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Maqosid syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai alasan bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[1]

Ketika kita berbicara tentang maqosid, secara otomatis pikiran kita akan tertuju pada seorang Al-Syatibi. Beliau adalah pengembang teori maqosid syariah. Namun sebenarnya beliau bukanlah orang pertama yang berbicara tentang maqosid. Juga dia bukanlah satu-satunya penarik gerbang maqosid sekaligus peletak embrionya, sebab pada abad ke tiga hijriah telah muncul peletak pertama maqosid syariah beliau dikenal dengan sebutan Al-Turmudzi Al-Hakim. Beliau mencoba menguak tujuan keagamaan, bahkan beberapa tahun sebelum keberadaanya, para ulama sudah mempelajari dan memunculkan ide ini, meskipun dalam kapasitas kecil.[2]

Menurut Syatibi tujuan akhir hukumk adalah satu yaitu maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat islam. Maqosid Al-Syariah, yang secara substansial mengandung kemaslahatan, yang dapat dilihat dari dua sudut pandang. Yang pertama kemaslahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan kemaslahatan dunia yang dijamin oleh muamalat.[3]

B. TINGKATAN

Menurut Al-Syatibi kemaslahatan yang akan diwujudkan terbagi menjadi menjadi tiga tingkatan yaitu dharuriyat, kebutuhan hajiyat dan kebutuhan tahsiniyat.

1. Kebutuhan Dharuriyat

Adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Menurut AL-Syatibi ada lima hal yang termasuk kategori dharuri yaitu memelihara Agama, Jiwa, Akal, Kehormatan dan Kekayaan.[4]

a. Agama

Agama adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan mereka dan hubungan mereka satu sama lain. Untuk menegakkan agama islam telah disyariatkan iman dan hukum pokok islam sebagai dasar agama islam.

b. Jiwa

Untuk memelihara jiwa dalam dan menjamin kelangsungan kehidupan, agama islam, mensyariatkan kewjiban memperoleh sesuatu yang dapat menghidupinyan berupa hal-hal yang bersifat dhorury seperti makanan, minuman, pakian, keharaman melemparkan diri dari kehancuran dan kewajiban menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam jiwanya.

c. Akal

Untuk memelihara akal agama islam mensyariatkan pengharaman minuman khamar dan segala yang memabukkan dan mengenakan hukuman terhadap orang yang meminumnya atau mempegunakan segala yang memabukkan.

d. Kehormatan

Untuk melihara agama islam mensyaritkan hukuman hadd bagi laki-laki yang perempuan yang berzina dan hukuman hadd bagi orang yang membunuh orang lain yang berbuat zina, tanpa saksi.

e. Harta Kekayaan.

Untuk mrnghasilkan dan memperoleh harta kekayaan, agama islam mensyariatkan pewajiban berusaha mendapatkan rezeki. Memperbolehkan berbagai muamalah, pertukaran, perdagangan dan kerjasama dalam usaha.sedangkan untuk memelihara harta kekayaan agama islam mensyariatkan pengharaman pencurian,ganti rugi terhadap orang yang merusakkan harta orang lain, serta menghindarkan bahaya maupun pengharaman riba.[5]

Untuk memelihra lima pokok ilmiah syarit islam turunan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembetukannya di atas. Dan firman Alloh dalam mewajibkan qishash:

öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”(QS.Al-Baqarah 2:179)

2. Kebutuhan Hajizat

Kebutuhan hajizat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak terwujudnya tidak sampe mengancam keselamatannya, namun akan sulit kesulitan.

Dalam lapangan ibarat, islam mensyaritkan beberapa hukum rukhsah (keringnan) misalnya, islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain, dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit.

Dalam lapangan muamalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroan) mudharabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum rukhsah dalam muamalat.

Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat islam sebagaimana firman Alloh:

$tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym

“…Dan Dia (Allah) tak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al Maidah 5:6)

3. Kebutuhan Tahsiniyat

Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi mangncam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.

Tujuan syariat seperti itu bisa dilihat dalam ayat Al- Qur’an:

`Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ

“…tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah 5:6)[6]

C. URUTAN HUKUM SYARA’ MENURUT TUJUANNYA

Dari apa telah dijelaskan dimuka mengenai pengertian dharuriy (primer), haajiy (sekunder) dan tahsiiniy (pelengkap) maka jelaslah bahwa dharuriy (kebutuhan primer) adalah tujuan paling utama, karena tanpanya, aturan hidup menjadi cacat, banyak timbul kerusakan diantara manusia dan kemaslahatan jadi tersia-siakan, urutan kedua adalah haajiy (kebutuhan sekunder) karena tanpa dia manusia akan mengalami kesempitan, kesulitan dan beban berat yangharus dipikulnya. Berikutnya adalah tahsiiny (kebutuhan pelengkap), karena meskipun dia aturan hidup manusia itu tidak rusak dan tidak pula ditimpa kesulitan, tetapi manusia akan keluar dari tuntutan menjadi manusia sempurna dan bermartabat serta yang dianggap baik menurut akal sehat.

Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaannya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurnaan tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan, oleh karena itu :

1. Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka karena menutup aurat karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiny sedangkan pengobatan adalah dhorury.

2. Diperbolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiny sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dhorury.

3. diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti pada akad salam (pesanan) dan pekerja industri, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzara’ah (menggarap tanah petanian), pengairan dan jual beli, barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.[7]

Hukum haajiy (kebutuhan sekunder) tidak boleh dijaga jika dapat merusak kepada hukum dhorury (kebutuhan primer). Oleh karena itu, melaksanakan fardlu dan wajib adalah keharusan bagi mukalaf yang tidak dalam keadaan diperbolehkan melaksanakan rukhsah, meskipun beban yang mereka tanggung sangat berat. Karena semua pembebanan mesti mengandung beban dan payah. Maka agar mukalaf tidak tertimpa kesulitan apapun, maka banyak sekali hukum dharury yang sia-sia seperti ibadah, hukuman dan lain-lain.krena dalam mematuhi semua yang diperintahkan atau tidak boleh dilakukan mukalaf tidak lepas dari kesulitan. Tetapi menaggung beban kesulitan ini, adalah upaya dalam menjaga kebutuhan primer manusia.

Adapun hukum dharury wajib dijaga. Tidak boleh merusak salah satu hukum kecuali, jika dalam penjagaannya dapat merusak kepada hukuman dharury yang lebih utam. Oleh karena itu :

a. Wajib berijtihad untuk mempertahankan agama, meskipunterjadai pengorbanan jiwa, karena mempertahankan agama lebih penting daripada pengorbanan jiwa.

b. Boleh minum khamar jika dipaksa meminumnya (dengan ancaman) dibunuh. Dipotong anggota tubuhnya, atau terpaksa karena sangat haus, karena menjaga jiwa lebih penting daripada menjaga akal.

c. Jika dipaksa merusak harta orang lain, maka boleh menjaga diri dari kematian meskipun dengan mengorbankan harta orang lain.

Hukum-hukum ini menyia-nyiakan hukum dharury karena menjaga hukum dharury yang lebih penting.

Sudah dibuktikan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukumnya tidak lepas dari penjagaan pada salah satu dari tiga hal itu, atau dari hal yang dapat menyempurnakannya. Dan tujuan-tujuan itu dalam penjagaannya bertingkat sesuai dengan prioritasnya. Berdasarkan urutan prioritas ini ditetapkan hukum yang dapat menganalisir tujuan-tujuan tersebut.[8]

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulannya bahwa maqosid syara’ atau lebih popular disebut maqosid syari’ah merupakan bagian-bagian yang ingin dicapai oleh syara’ dalam pensyriatan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan M.Zein. 2008. Ushul Fiqh, Jakarta: Rencana Prenada Media Group

http://islam peace.club discussion.net Ilmu Ushul-Fiqh-Fiqh Islam/Diskursus MAQOSID AL SYARIAH DALAM PRESPEKTIF IBNU TAIMIYA.html

Khalaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra

Khalaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani

ppssnh@telkom.net



[1] Satria Efendi dan Ma’sum Zein,Ushul fiqh,(Jakarta: kencana perdana group), hal.233

[2] http://.islam peace. Club discussion.Net ilmu ushul fiqh-fiqh islam/diskursus.MAQASIDU AL SYARIAH DALAM PRESPEKTIF IBNU TAIMIYA. html

[3] ppssnh@telkom.net

[4] Satria Efendi dan M. Zein, hal 236

[5] Abdul Wahhab Khalaf. Ilmu ushul fiqh. (Semarang: toha putra.1994), hal 313-315

[6] Satria Efendi, dan M. Zein, hal 235-237

[7] Abdul Wahhab Khalaf. Ilmu ushulfiq. Kaidah hukum islam,(Jakarta. Pustaka Amin.2003), hal 302-303

[8] Ibid, hal.304

Tidak ada komentar:

Posting Komentar