Minggu, 13 Juni 2010

Tarikh

SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Tarikh Tasri’

Dosen pengampu : Mahsun, M.Ag

Disusun oleh :

Siti Azizah

Siti Fadhilah

Siti Masyitoh

Siti Ruqoyah

Siti Zulaikha

PROGRAM STUDI MUAMALAH

JURUSAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)

PURWOREJO

2010

PENDAHULUAN

Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah dengan judul “Sejarah Hukum Islam di Indonesia.” Yang mana Negara kita Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam. Tetapi hanya saja mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam maka mau tidak mau pemerintah pun melegalformalkan hukum-hukum Islam kedalam aturan ketatanegaraan.

Pembahasan dalam makalah ini kami mulai dari sejarahnya hukum Islam di Indonesia yang merupakan bukti nyata dari penerapan hukum Islam itu sendiri, bagaiamana pasang surut hukum Islam di Indonesia. Serta berbagai teori dan metode eksistensi dan implementasi hukum Islam. Dan juga prospek pengembangan hukum Islam yang akomodatif terhadap politik Negara.

PEMBAHASAN

A. Kronologi Hukum Islam Masuk ke Indonesia

Seperti telah kita ketahui, dalam pasal 1 UUD 1945 yang intinya adalah bahwa Negara Indonesia Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dan pancasila sebagai dasar ideal negara dan UUD 1945 sebagai dasar struktural negara. Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati kehidupan beragama.[1] Perlu kita ketahui bahwa di negara RI saar berlaku 3 sistem yaitu sistem hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat (Civil Law, Common Law dan Anglosakson) seperti halnya telah dikutip dari Muhammad Ali, ”Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam Dalam Negara RI” yang menyatakan bahwa dari ke-3 sistem hukum tersebut tampaklah bahwa hukum adat dan hukum Islam memiliki hubungan erat dengan agama dan juga hukum Islam merupakan bagian dari struktur agama Islam.[2]

Kata “Hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali dalam Al-Qur’an. Dan hanya ada kata-kata syariah, fiqih dan Hukum Allah. Pada saat sekarang kata hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic Law dari literatur Barat.[3] Indonesia merupakan salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam.

Dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia dimulai :

1. Munculnya Kerajaan Islam di Indonesia

Sebenarnya hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam yaitu dengan adanya peradilan agama dalam Papakeum (dibaca : Kitab) Cirebon yang bisa menjadi suatu bukti dan juga kerajaan Islam lain di Nusantara, ini adalah pernyataan Idris Ramulyo.[4] Bidang-bidang hukum Islam yang berlaku saat itu adalah perkawinan, perwakafan, pewarisan, infaq dan sodaqoh. Adapun menurut sejarah berlakunya hukm Islam di Indonesia terbagi atas dua hal, yaitu :

a) Sosiologis

Bahwa hukum Islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia karena sebagian hukum Islam telah berkembang sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan Kolonial Belanda sampai zaman kemerdekaan.

b) Yuridis

Sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Akan tetapi, penerapan prinsipnya berangsur-angsur dalam hukum di Indonesia.

Tentang adanya peradilan agama yang telah disebutkan di atas di perkuat lagi dengan pernyataan dari Cik Hasan Basri bahwa peradilan agama adalah peradilan Islam dan juga merupakan symbol pemikiran Fuqoha yang memiliki sejarah panjang.[5] Berikut kutipannya :

“ Secara historis, peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang bekesinambungan sejak masa Rasulullah. Peradilan Islam mengalami pasang surut, sejalan dengan pekembangan masyarakat di berbagai kawasan dan negara. Pada Khalifah Umar bin Khatab. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan dan para hakim diberi pedoman tentang pelaksaan tugas mereka yang tercermin dalam Risalat Al-Qadha. Perkembangan itu terus berkembang pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiah, Dinasti Usmani dan seterusnya hingga akhir abad ke-20 termasuk di Indonesia.”

2. Pada Masa Pra Pemerintahan Hindia Belanda – Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Pada masa ini dikenal 3 periode peradilan agama :

a) Periode Tahkim

Yaitu dengan bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada ditengah-tengah masyarakat.

Contoh : Seorang wanita yang tidak memiliki wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.

b) Periode Ahlul Halli Wal Aqdi

Yaitu seorang ulama dibai’at diangkat sebagai qadlu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Hukum yang usang ditinggalkan secara berangsur-angsur dan aqidah Islam dimasukkan, kemudian hukum syara’ menanjak dan adat menurun. Dan akhirnya adat menjadi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Dari uraian tersebut bisa diketahui bahwa secara politis sudah ada badan peradilan dan hakim yang megadilinya menggunakan hukum Islam. Jadi hukum isalam sedikit-demi sedikit telah berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya. Terutama dalam hukum kekeluargaan (perkawinan).

c) Periode Tauliyah

Paeda periode ini diidentifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu : penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili pada suatu badan yudikatif. Seperti di Minangkabau. Ada Pucuk Nagari yang menyelamatkan sengketaan keagamaan. Di Banten ada satu macam pengadilan yang dipimpin oleh hakim tunggal. Sedangkan di Cirebon, pengadilan dilakukan tujuh orang menteri yang mewakili tigs sultan : Sultan Sepuh, Sultan Anar dan penembahan Cirebon.[6]

3. Pada Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

pada masa ini secara otomatis terjadi pengambil alihan kekuasaan oleh bangsa Indonesia, maka terjadi perubahan pemerintahan secara umum, akan tetapi tidak segera terjadi dalam tata perdilan, khususnya peradilan Agama. Hal ini bukan hanya karena menghadapi Belanda yang menjajah kembali, tapi juga konstitusi yang menjadi dasar kahidupan bernegara memungkinkan terjadinya penundaan perubahan tersebut yaitu berkenaan dengan adanya ketentuan peraturan peralihan dalam UUD 1945.

Hukum perkawinan yang diatur oleh belanda adalah hukum perkawinan yang diatur menurut golongannya :

a. Bagi orang-orang eropa, berlaku burgenlijk wetboek. (kitab undang-undang hukum perdata) merupakan tiruan Burgerjlijk Wetboek negeri Belanda.

b. Bagi orang-orang Tionghoa, BW hampir seluruhnya (termasuk perkawinan) diberlakukan.

c. Bagi oaring-orang Arab dan Timur, yakni Bepalingen Betreften De Net Burgerjlijk Wetboek an Handles Reciht de Vreemde Oosterlingen Andere dan Chinezen (tidak mengatur perkawinannya).

d. Orang-orang Indonesia yang beragama Kristen, yakni diberlakukan perkawinan H.O.C.I.

e. Bagi golongan yang tidak menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam a, b, c dan d mempergunakan hukum Regeling op de Gemengede Huwe Lijekin (GHR) / Peraturan Perkawinan Campuran. Pasal satu menyebutkan bahwa “Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tahluk dalam hukum yang berlainan disebut perkawinan campuran. Pasal dua menyebutkan bahwa istri mengikuti kedudukan hukum suaminya.

Rumusan hukum tersebut diatas merupakan gambaran hukum Indonesia yang mesih mengikuti hukum Belanda. Rumusan tersebut diungkapkan oleh Asro Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi.

Adapun perkembangan selanjutnya, sejarah hukum Islam telah semakin nyata dan signifikan. Mulai tahun 1970 aturan tentang pengadilan agama benar-benar diperkuat yakni melalui UU No. 14 Tahun 1970 :

a) Tentang Perkawinan diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974.

b) Tentang Kesejahteraan Anak-Anak oleh UU No. 4 Tahun 1979.

c) Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur UU No. 4 tahun 1982.

d) Tentang Peradilan Agama diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989.

e) Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera diatur oleh UU No. 10 Tahun 1992.

f) Tentang Penyelenggaraan Haji diatur oleh UU No. 19 Tahun 1999.

g) Tentang Pengelolaan Zakat diatur oleh UU No. 38 Tahun 1999

h) Tentang Penyelenggaraan Propinsi Daerah Istimewa Aceh UU No. 44 Tahun 1999

i) Tentang OtoNomi Khusus Bagi Wilayah Propinsi Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam oleh UU No. 18 Tahun 2001.

j) Tentang Perbankan UU No. 7 Tahun 1992.

UU Perbankan ini diikuti oleh PERPE No. 70 dan 72 Tahun 1992 sebagai pelaksanaan UU perbankan.[7]

B. Pasang Surut Hukum Islam di Indonesia

Perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat Islam. Batasan awal masyarakat Islam dimulai sejak diutusnya Rasulullah SAW pada periode Madinah. Penataan kehidupan masyarakat selalu didasarkan pada Wahyu. Yang oleh para ahli fiqih dan ahli hukum di Indonesia dikenal sebagai hukum Islam.

Hukum Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat dibangun berdasarkan prinsip keimanan kepada Allah, kontinuitas misi kerasulan (amar ma’ruf nahi munkar), kedilan, persaudaraan, persamaan, kemerdekaan, tanggung jawab bersama dan saling meNolong.[8] Dan secara garis besarnya hukum Islam beserta pranata sosialnya berkembang di dua negara yaitu : Pertama, dinegara-negara Islam seperti Pakistan, Iran, Saudi Arabia. Kedua, di negara mayoritas penduduknya Islam. Seperti, Indonesia, Turki dan Mesir. Khususnya di Indonesia hukum Islam mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam yang menjadi basis dalam pelaksanaan artiklulasi dan perumusan politik hukum, di negara yang bersangkutan.

Hukum Islam masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke wilayah Indonesia. Islam datang dengan damai, toleran dan membaur dengan tradisi local sehingga Islam dan hukumnya mudah diterima olah masyarakat Indonesia dan tidak menimbulkan (Shock Culture). Pembauran budaya ini menimbulakan corak sinkretis pada hukum Islam yang berkembang di Indonesia. Seperti pendapat Sudirman Teba pada bukunya “Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara” yang dikutip oleh Dedi Supriyadi bahwa kaum sinkretis adalah kelompok penikmat terhadap mayoritas dan supremasi politik secara nyata. Mereka adalah para aristokrat sebelum zaman pra Indonesia yang sekarang menjadi tentara dan birokrasi negara dan Islam hanyalah sebagai ideologi kelompok mereka saja.[9]

Walaupun hukum Islam belum terkover dengan baik, hukum Islam pada masa kerajaan (pra-penjajahan) merupakan fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia karena kerajaan Hindu, Budha untuk kemudian digantikan oleh kesultanan (kerajaan) Islam. Hukum Islam pastinya juga sudah eksis dan berlaku secara formal sebagai hukum positif di wilayah kepulauan Nusantara. Terlebih lagi adanya pemberian gelar “Sultan” sebagai “Adipati” ing alogo sayyidina paNoto gomo (Panglima Perang dan Pembina Agama) yang mengindikasikan bahwa agama dan pemerintahan saat itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, masa sebelum mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang sudah berdiri sendiri dan bekembang disamping adat atau kkebiasaan penduduk di wilayah kepulauan Nusantara.

Saat datangnya pemerintahan colonial Belanda, merupakan fase dimana hukum Islam mulai mengalami hambatan (surut) terhadap perjalanan hukum Islam itu sendiri. Mengapa? Karena selain memiliki tujuan kolonialis, Belanda juga datang untuk kepentingan misionaris, maka secara perlahan dan sistematis mereka melakukan upaya penghambatan. Mereka mengatakan bahwa hukum Islam adalah hukum asli pribumi dan pada praktiknya hukum Islam dijadikan sebagai hukum sekunder dalam pengadilan agama.[10]

Rezim Belanda juga menyebarkan isu bahwa yang berlaku di Indonesia adalah bukan hukum Islam melainkan hukum adat, kedalam hukum adat memang telah pengaruh Islam, namun pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh adat. Maka secara politik, isu tersebut jelas bertujuan untuk menhaspuskan hukum Islam dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang dijiwai oleh semangat hukum Islam.

Setelah belanda runtuh dan kekuasaan digantikan oleh jepang, dan juga setelah BPUPKI terbentuk, fase inilah dimana hukum Islam mulai bangkit lagi, karena para pemimpin Islam mulai berusaha mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula dengan lahirnya Jakarta Charter atau piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam piagam tersebut dinyatakan bahwa Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sayriat-syarit Islam bagi para pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata ini yang mengimplikasikan keterikatan seorang muslim dengan hukum islam. Akan tetapi, kemudian diputuskan rumusannya stelah terjadi perdabatan seru ditubuh PPKI. Menjadi ketuhanan Yang Maha Esa, meskipun jaminan eksplisit tersebut hilang tetapi kekecewaan umat Islam sedikit terobati dengan adanya dekrit presiden tahun 1954 yang menyatakan bahwa piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.[11] Dan juga menurut hukum ketatanegaraan Indonesia, preambule / konsidean / bahkan juga penjelasan peraturan perundan-undangan memiliki kedudukan hukum. Oleh karena itu hukum Islam telah menjadi authoritatif source (sumber otoritatif dalam tatanegara Indonesia dan bukan hanya sekedar hukum persuasif).[12] Pada tahun 1964 pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1964 yang menentukan 4 lingkungan peradilan ; yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Pada tahun 1965, muncul pula UU No. 13 Tahun 1965 tentang Mahakamah Agung dan Peradilan Umum yang menentukan bahwa Mahkamah Agung terdiri kamar perdata, kamar pidana dan kamar Islam. Oleh karena itu kita bisa mengetahui bahwasannya hukum Islam begitu diperhitungkan dalam tata hukum kenegaraan Indonesia. Hukum Islam yang memilki kesetaraan dengan tatanan hukum lainnya salam pemarintahan Republik Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Tap MPR Nomor IV Tahun 1999.[13]

C. Teori Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam di Indonesia­­­­­­

Teori yang dimaksud disini yaitu teori yang telah dialami diakui dan diberlakukan pada hukum Islam terutama di Indonesia. Teori inilah yang membuktikan bahwa Islam ada dan memiliki teorinya, dan teori ini telah diajalankan oleh bangsa Indonesia sendiri. Dan juga teori ini bisa dijadikan sebagai implementasi hukum Islam untuk sekarang atau masa yang akan datang, sepanjang teori ini masih kompeten dan teruji.

Para pakar hukum Islam berbeda-beda dalam memasukkan jumlah teori yang berbeda dalam memasukkan jumlah teori yang dapat siterapkan dalam hukum Islam. Seorang pakar hukum Islam yaitu Juhaya S. Praja dalam bukunya Pilar-pilar Hukum Islam mengambil lima teori berkanaan dengan hukum Islam.[14] Yaitu : 1) Teori Kredo / Syahadat ; 2) Teori Receptie in Complexis ; 3) Teori Receptie ; 4) Teori Receptie Exit ; 5) Teori Receptie a Contrasio.

1) Teori Kredo / Syahadat

Yaitu : Bahwa teori ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang mengikarkan 2 kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini terambil dari Al-Qur’an : Q.S (1) : 5 ; Q.S (2) : 179 ; Q.S (3) : 7 ; Q.S (4) : 13, 14, 49, 59, 63, 69 dan 105 ; Q.S (5) : 44, 45, 47, 50 ; Q.S (24) : 51 dan 52.[15]

2) Teori Receptie in Complexis

Yaitu : Teori ini menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan. Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1854-1927). Dalam konteks Indonesia teori ini dibangun bedasarkan atas amaliah umat Islam yang begitu terikat dengan ibadah dan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah. Adapun untuk bidang muamalah jinayah, siyayah masih banyak diabaikan oleh umat Islam di Indonesia.[16]

3) Teori Receptie

Yaitu : Teori ini dikemukakn oleh Christian Snuok Hurgronye (1856-1936) dia adalah seorang penasehat­­ pemerintahan Hindia Belanda tentang Islam. Teori ini menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.[17] Teori ini berpangkal dari Snouk yang bekeinginan jangan sampai orang-orang pribumi kuat dalam memegang ajaran Islam. Jika mereka kuat, maka akan sulit untuk dipengaruhi oleh peradaban Barat.

4) Teori Receptie Exit

Yaitu : Teori ini menentang teori Snouk tentang teori Receptie. Teori ini dikemukakan oleh Hazairin seorang Guru Besar Hukum Universitas Indonesia. Menurut beliau teori Receptie sebagai teori iblis karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau juga menyatakan bahwa teori receptie ini sedah patah, tidak berlaku lagi. Dan keluar dari Tatanegara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya Indonesia dan berlakunya UUD 1945 sebagai dasar Negara.

Berdasarkan teori Hazairin ini dapat dinyatakan bahwa :

a) Teori Receptie telah patah dan tidak berlaku sejak Indonesia merdeka dan UUD 1945 sebagai dasar Negara Indonesia. Dan dekrit presiden tenggal 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD.

b) Sesuai pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia berkewajiban membentuk hukum Nasional yang bahannya adalah hukum agama.

c) Hukum agama yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum islam, melainkan juga dari hukum agama lain bagi pemeluk agama tersebut. Hukum agama dibidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar pacasila.[18]

Teori yang diekmukakan oleh Hazairin dikembangkan oleh muridnya Sayuti Thalib yaitu Receptie A Contracio : hubungan antara hukum adat dan hukum Islam.

5) Teori Receptie A Contrasio

Yaitu yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum Islam dan hukum adat baru dinyatakan belaku bila tidak bertentangan dengan agama Islam atau hukum Islam seperti dinyatakan oleh Afdhol yang mengutip Sayuti Thalib adalah sebagai berikut :

a) Bagi orang Islam berlaku hukum islam.

b) Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum serta cita-cita batin dan moralnya.

c) Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.[19]

D. Dimensi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam menempati posisi hukum yang ada di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan 3 faktor yaitu :

1) Dipandang dari sudut dasar Filosofis

Proses perjalanan hukum Islam berkembang sesuai tingkat pemahaman keagamaan sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dan realitas social dan fenomena keislaman dan melahirkan norma fundamental Negara.

2) Dipandang dari sudut dasar Sosiologis

Sejarah masyarakat Islam yang berkesinambungan seperti dalam mentahkimkan permasalahan kepada ornag yang difigurkan sebagai muhakam dan akhirnya terkristalisasi menjadi tradisi tauliyah.

3) Dipandang dari sudut Yuridis

Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis dapat mengungkap tata hukum kolonialisme Indonesia tetap saja tidak mampu membendung arus tuntutan masyarakat Islam sehingga akhirnya hukum islam memiliki tempat dan diakui dalam tata hukum Indonesia. Eksistensi hukuk Islam tersalurkan secara konstitusional melalui pasal II aturan peralihan UUD 1945.[20]

Kemudian untuk penerpan dan pengembangan konsepsi hukum Islam di Indonesia dapat digolongkan dengan beberapa cara pelaksanaannya :

Pertama, Melalui jalur iman dan takwa. Intensitas pelaksanaannya tergantung pada kualitas keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri setiap muslim yang bersengkutan.[21]

Kedua, Adanya pelaksanaan hukum Islam melalui UU dalam berbagai masalah seperti perkawinan, perwakafan, kewarisan. Dan pengadilan menetapkan penggunaan hukum syara’ siap pakai meupun menggali hukum yang belum jelas, dalam hal-hal ini para hakim wajib berijtihad.[22]

Ketiga, Dengan membuat transaksi khusus di Bank muamalah, Badan Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah dan Asuransi yang memilih muamalah dengan cara-cara Islami.[23]

Keempat, Dengan jalan melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh MUI, bahwa para pengusaha, pedagang dan industri untuk mengadakan kesepakatan bersama dalam memilih hukum Islam untuk menyelesaikan persengketaan dengan jalan damai. (diluar pengadilan).[24]

Kelima, Menerapkan hukum Islam yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Penelitian Obat / kosmetik dan Makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh MUI. Lembaga ini menentukan apakah makanan, obat-obatan, dan kosmetik tersebut halal/haram.

Keenam, Pembinaan pembangunan Hukum Nasional melalui unsur asas-asas hukum Islam yang berlaku bukan hanya untuk umat Islam saja. Tetapi juga penduduk Indonesia.[25]

E. Akomodasi Hukum Islam Dengan Politik Indonesia.

Hukum merupakan produk politik, apapun bentuk hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum yang sudah diundangkan adalah bagian dari produk politik yang tidak bisa dihindari.

Adapun akomodatif hukum Islam terhadap politik Indonesia pada dasarnya muncul dari karakter hukum Islam sendiri yang bersifat fleksibel / elastis, dan dinamis, disamping prinsip-prinsip dari syariah itu sendiri. Analisis yang sesuai dengan pernyataan tersebut ditegaskan Amat Jaelani dalam uraiannya sebagai berukut :

“ aspek politik hukum Islam mencakup segi nilai dan tujuan hukum sesuai dengan criteria dan pedoman Allah Yang Maha Sempurna… Keadilan, Keagungan, dan Keharmonisan hukum Islam merupakan aspek politik yang meninggikan dan memuliakan martabat bangsa dan segenap masyarakat, juga penguasaan IPTEK. Demikan pula, aspek-aspek politik hukum islam mendamaikan kehidupan social politik serta secara kreatif melestarukan lingkungan hidup. Meskipun hanya menggunakan istilah hukum perkawianan, pewarisan dan perwakafan (tanpa kata Islami), aspek hukum Islam memungkinkan terbentuknya keunggulan keadaan kehidupan yang Bhineka. Falasafah hidup yang dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa” ternyata mempu mengakup segala masalah hukum dibidang humaniora, kemasyarakatan dan kealaman.”[26]

SIMPULAN

Dari uraian makalah tersebut diatas, kita dapat menetahui Bagaiman Hukum Islam berkembang di Indonesia. Dan juga pasang surut perkambangan hukum itu sendiri serta, mengapa Hukum Islam Indonesia tetap eksis dalam ketatanegaraan sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Jaelani, Timur, 1996. “Politik Hukum Islam” Dalam Buku Dimensi Hukum Islam dalam system Hukum Nasional, Jakarta : Gema Insani,

Afdol, 2006 “Kewenagan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, Surabaya : Airlangga

Ali, Muh Daud 1980. “Hukum Keluarga Dalam Masyarkat Islam Kontemporer”. Jakarta :

Bisri, Hasan, 2004. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : rajawali Press,

Ghani, Abdul1997, “Hukum Islam Dalam Sistem Masyarakat Indonesiadalam Jurnal Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII /

Ichtijah . 1994. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Bandung : Rosdakarya,

Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan amandemen dari sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan pasal 29 ayat 2 tentang Kebebasan Memeluk Agama.

Praja, Suhaya S. 1995. Filsafat Hukum Islam, Bandung : UNINUS

Sumaudjar, Tjun 1991.Hukum Islam di Indonesia : Perkembangan dan Pembentukan, Bandung : Rosdakarya

Supriyadi, Dedi, ”Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia

Suny, Ismai 1990, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum No. 2 Tahun

Teba, Sudirman. 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Asia Tenggara, Bandung: Mizan,

www.pa-tuban.net / Sejarah Peradilan Agama



[1] Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan amandemen dari sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan pasal 29 ayat 2 tentang Kebebasan Memeluk Agama.

[2] Dedi Supriyadi, ”Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia hal 291-292

[3] Ibid, hal 292

[4] Dedi Supriyadi, ”Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia hal 292

[5] Ibid hal, 2929

[6] www.pa-tuban.net / Sejarah Peradilan Agama

[7] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : rajawali Press, 2004), hal. 51-52

[8] Suhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : UNINUS 1995), hal. 69-77

[9] Sudirman Teba(ed) Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Asia Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 29

[10] www.pa-tuban.net / Sejarah Peradilan Agama

[11] Ibid

[12] Ismai Suny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Mimbar Hukum No. 2 Tahun 1990)

[13] Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : rajawali Press, 2004), hal. 96

[14] Juhaya S. Praja, “Pilar-Pilar Hukum Islam”, (Bandung : UNINUS 1995), hal. 133

[15] Ibid, 133

[16] Tjun Sumaudjar (ed), Hukum Islam di Indonesia : Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung : Rosdakarya, 1991), hal. 122

[17] Ichtijah co, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1994),hal. 122

[18] Afdol, “Kewenagan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, (Surabaya : Airlangga, 2006) hal.51

[19] Ibid, 52

[20] Abdul Ghani, “Hukum Islam Dalam Sistem Masyarakat Indonesiadalam Jurnal Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII / 1997, hal 7-8

[21] Muh Daud Ali, “Hukum Keluarga Dalam Masyarkat Islam Kontemporer”. (Jakarta : 1980), hal. 8

[22] Ibid, 8

[23] Ibid, 8

[24] Ibid, 8

[25] Ibid, 8

[26] A. Timur Jaelani, “Politik Hukum Islam” Dalam Buku Dimensi Hukum Islam dalam system Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani, 1996), hal. 144

1 komentar:

  1. Merit Casino | Welcome Bonus $50 Welcome Bonus
    Merit Casino is a top name in the casino industry. It is part of the Merit Group of 바카라 사이트 Curacao 메리트 카지노 and offers online 온카지노 slots, table games, live dealer

    BalasHapus