Minggu, 13 Juni 2010

U fiqh

HAKIM, MUKALLAF DAN MAHKUM ALAIH

MAKALAH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Ushul Fikih

Dosen Pengampu : Mahsun, M. Ag.

Oleh :

Aurotul Bariroh

Sugiharti

Zaini Muslikhatun

Program Studi Muamalah

JURUSAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)

PURWOREJO

2010

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i, karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i. adapun hal-hal yang kita pelajari untuk mengetahui hukum syar’i adalah empat komponen mabahitsul ahkam yang dapat dipelajari dalam ilmu ushul fiqh yakni agar kita sebagai orang muslim mengetahui dan memahami pembatasan-pembatasan hukum syar’i dalam islam.

Rumusan Masalah

1. Apa saja empat komponen yang ada dalam mabahitsul ahkam dalam ilmu ushul fiqih?

2. Apakah yang dimaksud dengan hakim, mahkum dan mahkum fih dan mahkum alaih dan apa syarat-syaratnya?

3. Siapakah Mukallaf itu?

B. Pembahasan

1. Komponen-komponen mabahitsul ahkam dalam ushul fiqih.

Komponen-komponen aau unsure-unsur yang ahrus kita pelajari dalam pembahasan hukum syar’i ada 4 komponen. Dimana empat komponen tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan salah satu darinya karena tidak akan tercipta dan terlaksana suatu hukum syar’i tanpa keempat komponen tersebut. Dan 4 komponen tersebut adalah :

a. Hakim

Yakni pembuat dan penentu hukum.

b. Hukum

Yakni hasil keputusan hakim

c. Mashkum fih

Yakni objek hukum yaitu perbuatan seorang mukallaf

d. Mahkum alaih

Yakni orang yang melaksanakan hukum atau mukallaf.

2. Pengetian Hakim

Secara etimologi yang dimaksud hakim adalah orang yang memutuskan hukum. Sedangkan dalam ilmu ushul fikih hakim adalah

الحاكم هو من صدر عنه الحكم

Yakni pihak yang megeluarkan hukum, adapun untuk lebih jelasnya hakim adalah pihak penentu da pembuat hukum syar’i secara hakiki. Hakim dalam ilmu ushul fikih juga disebut dengan syari'[1]

Disepakati oleh jumhur ulama bahwa jakim yang dimaksud disini adalah Allah. Duialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. [2]Dapat dikatakan bahkan wahyu merupakan sumber syariat. Dan dalam hal ini para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah :

“Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”

Untuk mendukung pernyataan diatas para ulama ushul fikih berdasarkan dengan firman Allah surat al-An’am ayat 57 :

4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#

menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".

Namun disis lain ulama ushul fikih juga berbeda pendapat mengenai peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi .

a. Menurut Al Asy’ariyah tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syari’at.

b. Mu’tazilah, berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan, sebelum datangnya syariat meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rosul.

c. Golongan Maturidiyah, berusaha menengahi kedua pendapat tersebut,yakni menggunakan akal tetapi juga tidak memalingkan nash.[3]

3. Pengertian Hukum

Secara etomologi hukum berarti mencegah untuk memutuskan ,sedangkan secara istilah :

Yakni suatu hasil keputusan hakim yang menunjukan terhadap apa yan dikehendaki hakim untuk dilakukan oleh mukallaf. Sedangkan yang dimaksud hukum disini adalah khitob allah ( ketentuan dari Allah ) yang telah tertuang dalam ayat-ayat dan hadist-hadist tentang hukum.

4. Pengetian Mahkum Fih

Prngertian mahkum fih adalah.

Yakni perbuatan seorang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’.dengan kata lain bahwa mahkum fih adalah objek hukum. Para ulama’pun sepakat bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf terhadap pebuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum , msal firman allah dalam surat al- baqarah 43

#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ

Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'

Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat untuk berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.[4]

Ø Syarat – syarat mahkum fih :

a. Perbuatan itu itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allahdan RosulNya. Oleh karena itu seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan secara global baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rosululloh. Misalnya shalat di al-Qur’an secara global baru wajib setelah adanya penjelasan dari Rosululloh. Demikian pula seperti haji, puasa dan zakat.

b. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rosul-Nya.

c. Perbuatan yang diperintahkan atau di larang hruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari perintah atau larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu tidak mungkin ada dalam al-Qur’an dan sunah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah terbang tanpa memakai alat.[5]

Syarat yang ketiga diatas didapatkan 2 ketentuan :

1. Bahwa mengenakan taklif terhadap suatu yang mustahil tidaklah sah. Baik hal itu mustahil karena subtansinya atau mustahil karena sesuatu lainnya.

2. Bahwasannya tidak sah menueut syara’ mentaklif mukallaf supaya orang lain mengerjakannyasuatu perbuatan atau meninggalkannya, karena perbuatan orang lain tidaklah mungkin baginya. Berdasarkan inilah maka seseorang tidak dapat terbebani agar bapaknya mengeluarkan zakat atau supaya saudaranya melakukan shalat atau tetangganya meninggalkan mencuri. [6]

5. Pengetian Mahkum alaih

Mahkum alaih berarti orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklif).

Atau mahkum alaih adalah mukallf yang dengan perbuatannyalah hukum syar’i berkaitan. [7]

Ø Syarat-syarat menerima beban

Seorang guru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan :

a. Sanggup memahami khitab – khitab pembebanan yakni sanggup memahami sendiri atau dengan perantaraan orang lain nash-nash al-qur’an dan as-sunnah.Karena orang yang tidak sanggup memahami khitab Allah baik langsung maupun dengan perantaraan niscaya tidak akan dapat tergerak hatinya untuk memenuhi tuntunan syara’ dan tidak akan dapat mencapai tujuan yang di cita-citakan. Kesanggupan memahami khitab taklif itu hanya terletak kepada akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli fiqh atau untuk memahami dan menyerap dan akal itu pula yang mendorong manusia berkehendak untuk mematuhiNya oleh karena itu orang gila dan anak-anak yang belum dewasa tidak dibebani suatu taklif. Karena keduanya belum sanggup memahami khitab-khitab untuk membina ketaatan kepada syari’ demikian pula orang yang dalam keadaan lupa sedang tidur atau sedang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban,karena pada saat itu mereka tidak sanggup memahami kitab.

b. Mempunyai kemampuan menerima beban. Para ushuliyah membagi kemampuan 2 macam :

1) Ahliyatul wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban) yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia,baik laki-laki maupun perempuan.Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban artinya selama kemanusiaan tetap dimilikinya.

2) Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat) ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatanya misal bila dia mengadakan suatu perjanjian atau perbuatan.Tindakan-tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum apabila melakukan perbuatan-perbuatan seperti shalat, puasa, haji, atau perbuatan wajib yang lain, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan dia telah menunaikan kewajibanya yang dapat mengugurkan tanggungan apabila melakukan tindak pidana terhadap senyawa atau harta milik orang lain maka ia di kenai pidana badan atau harta .Dengan demikian ahliyatul ada’ itu adalah soal pertanggungjawaban dengan asasnya atau cakap bertindak

3) Hubungan manusia dengan ahliyatul wajib keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan kemampuan menerima hak dan kewajiban ada 2 macam

a. Adakalanya ahliyatul wajibnya itu kurang sempurna kemampuan seseorang menerina hak dan kewajiban dikatakan kurang sempurna apabila seseorang hanya menerima hak saja, sedangkan untuk memikul kewajiban belum pantas.

b. Adakalanya ahliyatul wajib sempurna apabila seseorang sudah pantas menerima hak dan memikul kewajiban. Kemampuan itu muncul sejak lahir hingga meninggal.

4) Hubungan manusia dengan ahliyatul ada’.

Keadaan manusia itu apabila dihubungkan dengan ahliyatul ada’ ada 3 macam :

a. Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai ada’ sedikitpun. Misal anak yang belum dewasa dan orang gila.

b. Adakalanya orang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang kurang sempurna. Seperti anak yang mumayyiz yakni anak yang sudah mampu membedakan yang baik dan buruknya perbuatan. Akan tetapi pengetahuannya belum kuat (anak yang berada dalam umur 7 tahun sampai 15 tahun).

c. Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang sempurna. Yakni orang yang telah dewasa(15 tahun). Akal dikur dari kedewasaan ketika sudah dewasa maka akalnya sudah sempurna.

5) Hal-hal yang menghilangkan kemampuan bertindak.

Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak yang disebut ‘awaridhul ahliyah itu ada 2 macam. Yakni “samawiyah dan kasabiyah”

Yang disebut samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiyar manusia. Halangan samawiyah ada 10 macam, yakni :

a. Keadaan belum dewasa.

b. Sakit gila

c. Kurang akal

d. Keadaan tidur

e. Pingsan

f. Lupa

g. Sakit

h. Menstruasi

i. Nifas

j. Meninggal dunia

Yang dimaksud kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan manusia yang menghilangkan atau mengurangi emampuan bertindak. Halangan itu ada 7 macam.

a. Boros

b. Mabuk

c. Bepergian

d. Lalai

e. Bergurau (main-main)

f. Bodoh (tidak mengetahui)

g. Terpaksa. [8]

C. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya jakim, mukallaf maupun mahkum alaih merupakan beberapa bagian atau komponen dari mabahotsul ahkam dalam ilmu ushul fiqih. Yang mana dari seluruh komponen mabahitsul ahkam tyang terdiri dari hakim, hukum, mahkum fih, dan mahkum alaih tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dan empat komponen inilah yang nantinya dapat menciptakan dan menjadikan terlaksananya hukum syar’i secara sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Muctar Yahya, Fatkhurrahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif, cetakan pertama,

Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul fikih, Semarang : Dina Utama,

Syafi’i, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fikih, cetakan ketiga. Bandung : CV: Pustaka Setia,

Depag RI, 2002. UShul Fiqh II MAK, Cet, Edisi kedua. Jakarta : Depag RI

Efendi, Satria. 2008. Ushul Fikih, cetakan kedua Jakarta : Kencana,



[1] Depag RI, UShul Fiqh II MAK, Cet, Edisi kedua (Jakarta : Depag RI, 2002), hal. 53

[2] Satria Efendi, Ushul Fikih, crtakan kedua (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 68

[3] Rahmat Syafi’i,Ilmu Ushul Fikih, cetakan ketiga (Bandung : CV: Pustaka Setia, 2007), hal. 345-352

[4] Rahmat Syafi’I, Op.Cit., hal. 317-318

[5] Satria Efendi, Op.Cit., hal. 74-75

[6] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul fikih, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal. 191-192

[7] Abdul Wahab Khalaf. Op.Cit., hal. 199

[8] Muctar Yahya, Fatkhurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, cetakan pertama, 1986). Hal. 164-171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar