Minggu, 13 Juni 2010

U fiqh

IJMA’ DAN QIYAS

MAKALAH

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Mashun, M. Ag.

Disusun Oleh :

SITI MASITOH

SITI RUQOYAH

SITI ZULAIKHA

Program Studi Muamalah

JURUSAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI

PURWOREJO

2010


A. PENDAHULUAN

Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.

Dari uraian tersebut di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagi berikut:

1. Definisi Ijma’ dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’ ?

2. Apakah saat ini masih mungin terjadi Ijma’ ?

3. Definisi Qiyas dan kehujjahan Qiyas ?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertan Ijma’

Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat.[1] Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw.[2]

2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan sebagai berikut :

a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Artinya : Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik”.

b. Sabda Rasulullah Saw

لا تجمع امتى على ضلالة

Artinya : UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :

الا فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين ابعد

Artinya : Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.

Firman Allah Swt :

ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا ( النساء : 115 )

Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.

Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.

Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara’.

3. Syarat-syarat Ijma’[3]

a. Yang bersepakat adalah para mujtahid

b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw

d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi

e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.

Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa sebagai syarat Ijma’.

4. Tingkatan Ijma’

Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :[4]

a. Ijma’ sharih

Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati tersebut.

b. Ijma’ Sukuti

Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukuti dalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.

Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :

1) Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)

2) Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)

3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)

Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[5]

1) Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.

2) Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.

Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :

1) Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan berfikir.

2) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu masalah.

3) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram.

لا تجمع امتى على الضلالة

Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”

5. Kemungkinan terjadi Ijma’

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak mungkin terjadi.

Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i.

Seperti : Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah bersifat qoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.[6]

Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :[7]

1) Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.

2) Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.

Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.

6. Pengertian Qiyas

Qiyas secara bahasa adalah[8]

تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما

Qiyas secara istilah adalah[9]

رد الفرع الى الاصل بعلة تجمعها فى الحكم

Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.[10]

Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan ‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :

افلم يسيروا فى الارض فينظروا ليف كان عاقبة الذين من قبلهم دمر الله عليهم وللكافرين امثالهم

Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.

Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.

ام حسب الذين احترجوا السيأت ان تجعلهم كا الذين أمنوا وعملوا الصالحات سواء محياهم ومماتهم سأ ما يحكمون (الجاثية : 21)

Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

Dan Firman Allah yang berbunyi.

ام نجعل الذين امنوا وعملوا الصالحات كا المفسدين فى الارض ام نجعل المتقين كا الفجار (الصاد : 28)

Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?

Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya persamaan dan membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan. Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan masa Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat dengan hal tersebut.

Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama tentang tentang digunakannya/tidak digunakannya qiyas. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok besar yaitu :

1) Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat shahabat/ijma’ ulama tapi hal tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.

2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah : Samasekali tidak memakai qiyas, hanya terpaku pada teks.

3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang dalam kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentaskhih dan keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.

7. Dalil Kehujjahan Qiyas

Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut :

ياايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واول الامر منكم فإن تنازعتم فى سيء فردواه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر.

(النساء : 59)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.

Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:

لقد كان فى قصصهم عبرة (يوسف : 111)

Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....

Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi contohnya.

Analoginya adalah seperti ini : Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya
dan juga sebuah hadist Rasulullah SAW :

ان رسول الله ص.م لما اراد ان يبعثه الى اليمن. قال له ليف تقضى اذا عرض له قضاء, قال : اقضى بكتاب الله فإن لم أجد فبسنة رسول الله ص.م على صدره قال : الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله ص.م

Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.

Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.[11]

Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.

C. KESIMPULAN

Dan uraian makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.

Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.

D. DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Setia.

Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Hakim, Abdul Hamid. Mabadiul Awaliyah.

Syafe’i, Rachmat. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.



[1] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17

[2] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17

[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70.

[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 317.

[5] Ibid., hal. 318.

[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 311.

[7] Ibid.,

[8] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 18.

[9] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 18.

[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.

[11] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar