Minggu, 13 Juni 2010

U fiqh

PENUNJUKKAN LAFADZ TERHADAP MAKNA

MAKALAH

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Mahsun, M.Ag

Oleh :

Khaizatur Rofiah

Nur Khariroh

Nunung Khafshoh

Program Studi Muamalah

JURUSAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)

PURWOREJO

2010

PENDAHULUAN

Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah al-qur’an dan sunnah rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama’ telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Amr, nahi, mujmal, dan mubayan.


PEMBAHASAN

A. AMR

  1. Perintah dan kriterianya

Menurut bahasa arab artinya perintah, menurut istilah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amr, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz (samar).

Jadi Amr merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan, jika tidak demikian maka tidak termasuk kategori Amr.[1]

Syarat yang harus ada pada kata Amr (permintaan) adalah :

a. Harus berupa ucapan permintaan (Amr) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).

b. Harus berbentuk kata permintaan (Amr)

c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.

d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.[2]

  1. Bentuk-bentuk

Menurut Hudhori Bik di dalam Tarikh Tasyri disampaikan beberapa bentuk Amr antara lain :

a. Melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan).

b. Menggunakan lafadz kutiba atau diwajibkan.

c. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (Jumlah Khabariyah), tetapi yang dimaksud adalah perintah.

d. Perintah yang menggunakan kata kerja perintah langsung.

e. Fiil Mudhari’ yang disertai Lam Amr (huruf lam yang mengandung perintah).

f. Perintah dengan menggunakan lafadz faradha

g. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa itu baik.

h. Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakuknya. [3]

  1. Hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh bentuk Amr.

Menurut Adib Saleh ahli Ushul Fiqh asal Damaskus, berbagai bentuk Amr diatas membawa beberapa pengertian antara lain :

a. Menunjukkan hukum wajib, seperti perintah shalat dalam surat al-Baqarah : 110 :

(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$#

Artinya :

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

b. Menjelaskan bahwa sesuatau itu Mubah hukumnya, seperti firman Allah surat al-Mukminun : 51

$pkšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$#

Artinya :

“Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik”

c. Untuk menunjukkan anjuran, seperti perintah menulis hutang piutang dalam surat Al-Baqarah : 282.

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

d. Untuk melemahkan, seperti firman Allah surat al-Baqarah : 23 :

bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹

Artinya :

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

e. Sebagai ejekan dan penghinaan, seperti firman Allah surat al-Dukhan : 49 :

ø-èŒ š¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ãLq̍x6ø9$#

Artinya :

Rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia”.[4]

B. NAHI

1. Pengertian.

Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain yang tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.

Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[5]

Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$#

Artinya :

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.

Melarang perbuatan kerusakan dimuka bumi berarti perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.

Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.[6]

2. Pendapat Al-Ghazali dan al-Amidi bahwa arti yang terkandung dalam Nahi itu ada tujuh macam antara lain :

a. Al-Tahrim, seperti ayat :

وَلاَتَقْتُلُوْ النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ الله اِلاَّ بِاالْحَقِّ

Artinya:

Janganlah kalian membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.”

b. Al-Karahah, seperti hadits :

لاَيُمْسِكِ ذَكَرَهُ بِيَمِنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ (رواه اصحاب الكتب الاضلم)

Artinya :

Janganlah kalian memegang dzakar (kemaluan) dengan tangan kanan ketika buang air kecil”.

c. Al-Do’a, seperti ayat :

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْ بَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا

Artinya:

“Ya Allah janganlah kamu tutup hatiku setelah engkau memberi petunjuk padaku”.

d. Al-Irsyad (petunjuk), seperti ayat :

لاَتَسْئَلُوْا عَنْ اَشْيَاءٍ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

Artinya:

Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu yang apabila ditampakkan maka kalian mendapati tercela”.

e. Al-Taqbih (menegur), seperti ayat :

وَلاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَعْنَا بِهِ اَزْوَاجًا مِنْهُمْ

f. Tais ( تَيْئِسْputus asa), seperti ayat :

لاَتَعْتَذِرُوْا الْيَوْمَ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Artinya:

“Janganlah kalian beralasan pada hari ini karena sesungguhnya akan dibalas amal-amal yang telah kalian lakukan”.

g. Menjelaskan adanya akibat (bayan al-aqibah), seperti ayat :

وَلاَتَحْسَبَنَّ الله غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلْ الظَّا لِمُوْنَ

Artinya:

“Janganlah kalian menyangka Allah adalah Dzat yang lupa atas perkara yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah berbuat kedzaliman”.

3. Bentuk-bentuk Nahi.

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya :

a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :

4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur

Artinya :

“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.

b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf :

ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$#

Artinya:

Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.

c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan contoh, surat An-Nisa’ ayat 19 :

$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx.

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.

d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152 :

Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ çn£ä©r&

Artinya:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.

e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 :

(#râsŒur tÎg»sß ÉOøOM}$# ÿçmoYÏÛ$t/ur

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”.

f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.

šúïÏ%©!$#ur šcrãÉ\õ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZムÎû È@Î6y «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r&

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.

g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180.

Ÿwur ¨ûtù|¡øts tûïÏ%©!$# tbqè=yö7tƒ !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #ZŽöyz Nçl°;

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.

h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193.[7]

ÈbÎ*sù (#öqpktJR$# Ÿxsù tbºurôãã žwÎ) n?tã tûüÏHÍ>»©à9$#

“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.

C. MUJMAL

1. Pengertian

Dalam bahasa artinya dalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah lafadz-lafadz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuatan mujmal (syara’).

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mujmal suatu lafadz yang dzatiahnya khilafi, tidak bisa dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari syara’, seperti shalat, zakat dan riba.[8]

Ada beberapa sebab suatu lafadz disebut mujmal, yaitu :

a. Lafadz yang mempunyai makna mustarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya lafadz qur`in dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah : 228 :

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%

Artinya :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”

b. Suatu lafadz yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata halu’a pada firman Allah surat al-Ma’arij 19-21

¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd . #sŒÎ) çm¡¡tB Ž¤³9$# $Yãrây_ . #sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB

Artinya :

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,"

c. Pemindahan lafadz dari makna kebahasa menuju makna secara istilah atau menurut Syara’, seperti lafadz Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.[9]

D. MUBAYYAN

1. Pengertian

Mubayyan adalah mengeluarkan sesuatu lafadz dari kerancuan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami, sampai artinya menjadi jelas dan bisa dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bisa menunjukkan pada arti yang dikehendaki.[10]

2. Dilihat dari kejelasan maknanya

Mubayyan dibagi menjadi 2 bentuk :

a. Al-Wadhih bi Nafsihi yaitu lafadz yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaan sehingga tidak membutuhkan penjelasan lafadz lain. Kejelasan lafadz ini diketahui melalui :

1) Pendekatan bahasa, seperti firman Allah surat Al-Baqarah : 281

ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ

Artinya:

“Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

2) Dengan menggunakan akal, seperti firman Allah surat yusuf : 82

. È@t«óur sptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkŽÏù uŽÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkŽÏù (

Artinya :

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu”.

b. Al-Wadih bi ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafadz-lafadz lain misalnya, firman Allah surat al-Maidah : 141

وَاتُو حَقَّهُ يَوْمً حَصَادِهِ

Astinya :

“Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”[11]


KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nahi, amar, mujmal dan mubayan merupakan metode untuk mengetahui dan memahami kejelasan makna yang terkandung dalam al-quran dan sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria dan M. Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Rencana Prenada Media group.

Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta : Zikrul Hakim.

Safe’i, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fikih. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Zein, Muhammad Ma’sum. 2008. Zubdah Ushul Al- fiqh. Jawa Timur : Darul Hikmah.



[1] Muhammad Ma’sum Zein, Zudbah Ushul Fiqh, (Jawa Timur : Darul Hikmah, 2008), hal. 52

[2] Ibid, hal. 52-53

[3] Ibid, hal. 53

[4] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta : Zikrul Hakim, 2004), hal 139-141

[5] Muhammad Ma’sum Zein, Zudbah Ushul Fiqh, (Jawa Timur : Darul Hikmah, 2008), hal. 64

[6] Ibid, hal. 66

[7] Satria Efendi dan Ma’shum Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencan Perdana Media Group), hal. 187-190

[8] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 165

[9] Firdaus, hal. 163

[10] Muhammad Ma’shum Zein, hal 108

[11] Firdaus, hal. 165